3rd Vaccine Side Effect

I was getting a booster shot on Thursday, March 10, 2022. Moderna, 0.25ml.

The side effect was almost the same as my first vaccine (Astrazeneca).

So I was fine the first day, body temperature was 37.8C at night, steadily rising up till day 2 to the point of 39.1, and that was with the paracetamol every 6 hours.

By day 3, the temperature was normal, between 35.6 to 36.3 but I felt slight vertigo in the morning. It subsided by midday, though. By day 4 I was completely fine. Everything was in HD for me. No fever, no achy feely, no vertigo, nothing.

So, for anyone experiencing the same symptom, hang in there. It’s gonna be alright.

Getting My Booster Shot

Photo from reuters.com

My last post was about Covid 19 vaccine, the first dose, right?

The second dose was way better I almost felt no side effect at all.

More than six months after the second dose, I finally received my booster shot. Different from the previous experience in hunting the vaccine, this time it was less eventful other than the fact that only I in the family was eligible for it. The rest of the gang have just contracted the virus less than a month prior. I don’t know how, but I didn’t catch it.

So, on March 5 I was hunting the booster vaccine to Puskesmas Kendalsari. The place was open at 8, I came at 7.30 am and the tickets were already taken. People were coming at 5 am to get it, apparently. Queueing the old-fashion way.

I was posting this experience on Twitter. The following day, a friend of mine, Sari, told me to register at Klinik UB, as they rolled another batch out. And so I did with zero expectation for so far it had always been a struggle to get vaccine for me, husband, and family. Lo and behold, 2 days after, I received a message from the clinic informing that I could get the shot along with what I need to prepare.

Today I went to the clinic, re-registered my name, got pre-screened, got my shot, and went back home. The whole process was so neat, efficient, and quick. No need to queue, no need to battle the crowd at 5 am in the morning. The longest time I spent was probably on the road trying to find the clinic, hahaha.

Here’s hoping there’s no notable side effect to the shot. Will try to write with the update later if there’s any.

Cheers,
Uswah.

Suhu tubuh tinggi setelah vaksin Astra Zeneca

Itu normal.

Masing-masing orang akan bereaksi berbeda terhadap vaksin. Dengan atau tanpa penyakit penyerta. Contohnya adalah saya dan suami saya: divaksin pada hari, dengan dosis, dan jenis vaksin yang sama, Astra Zeneca.

Jadi ceritanya agak lucu. Waktu vaksin, proses saya lumayan cepat karena kondisi semuanya normal. Suami saya yang memiliki asma dan beberapa faktor resiko lain harus di-screening cukup lama. Yang saya khawatirkan dari awal memang suami saya, sih. Alhamdulillah, suami aman-aman saja. Eh, ternyata yang bereaksi lebai terhadap vaksin malah saya.

Saya akan menceritakan kronologis yang saya alami paska vaksin disini agar jika Anda mengalami hal serupa, Anda bisa tenang dan tidak panik.

Hari ke-1

Saya vaksin hari Kamis tanggal 3 pukul 11 siang di Puskesmas Mojolangu Malang. Paska vaksin, beberapa orang, termasuk suami, merasa lapar dan ngantuk. Saya tidak. Tapi saya tetap makan saja karena sudah waktunya makan siang kemudian tidur siang, mengantisipasi hal yang tidak diinginkan. Sebelum tidur pukul 13.30, saya minum parasetamol seperti yang dianjurkan meskipun suhu tubuh saya normal (sekitar 36-36.3 biasanya). Bangun pukul 15.30, suhu tubuh 35.8. Tidak ada keluhan apapun, bahkan ngilu di tempat suntik juga minimal sekali. Badan sangat segar. Untuk jaga-jaga, saya minum vit C dan D.

Malam hari terbangun pukul 1.30 karena merasa tidak nyaman. Cek suhu tubuh 37, saya minum parasetamol, dan baru bisa tidur lagi sehabis subuh. Terbangun pukul 6.25, suhu tubuh 38.3. Wah..

Hari ke-2

Pukul 7.15 saya ukur lagi, sudah naik 38.6. Saya minum paracetamol lagi setelah sarapan pagi (nafsu makan masih oke). Kemudian mencoba istirahat. Setelah itu, suhu beranjak naik, seakan-akan paracetamol tidak berfungsi. Yang tertinggi yang sempat diukur 39.5. Paracetamol diganti dengan Sumagesik, isinya sama dengan dosis yang lebih tinggi. tapi sampai pukul 19.00 fluktuasi masih 39.1-39.5, tidak pernah di bawah itu.

Saya tidur, dan waktu bangun pukul 1 pagi, suhu tubuh sudah turun ke 37.6.

Hari ke-3.

Suhu tubuh masih di atas 37 tapi di bawah 38.

Ketika suhu tubuh saya tinggi, saya tidak merasa pusing. Pinggang sedikit pegal, dan kaki menapak sakit. Memang lemas, tapi tidak ada keluhan di kepala. Ketika suhu tubuh di rentang 37 ini baru saya sakit kepala. Dan mual. Kemungkinan karena dosis paracetamol yang saya ambil hari sebelumnya, atau karena sakit kepala, either way, saya tidak bisa makan banyak karena ini.

Hari ke-4.

Suhu tubuh sudah di rentang 36. Tidak ada pegal-pegal, mual masih sedikit tapi tidak signifikan, kepala masih ringan. Yang saya lakukan: bergerak, jalan kaki pelan-pelan sambil berjemur 20 meter bolak-balik. By hari ke-5, saya berharap sudah bisa kembali normal dan beraktifitas seperti biasa kembali. 3 minggu lagi saya akan melakukan tes untuk mengukur antibodi yang terbentuk.

Oh iya, selama ini, suami saya tidak bereaksi apapun terhadap vaksinnya. Suhunya naik sedikit saja untuk beberapa jam, selebihnya dia setroong.

Nah, apa yang harus Anda lakukan jika mengalami reaksi yang sama seperti saya?

  1. Minum yang banyak, kemudian pipis, minum lagi, dan pipis lagi, berulang kali. Akan lebih bagus jika Anda bisa berkeringat. Harus tetap hydrated, dan itu akan membantu meregulasi suhu tubuh.
  2. Makan. Di hari pertama ketika efeknya belum begitu terasa, makan yang banyak. Di hari kedua, meskipun mual, paksakan perut terisi. Eat small, frequently. JANGAN minum paracetamol dalam keadaan perut kosong. Apalagi jika punya kecenderungan sakit maag.
  3. Jangan paksa untuk bergerak jika tidak kuat. Take a rest. The vaccine is working its way into your system. Give yourself a break.
  4. kompres hangat mungkin disarankan, tapi bagi saya yang lebih kerasa itu mandi air hangat.
  5. Pakai pakaian yang nyaman. Wajib.
  6. kiss. and hug. and hand-holding. and a lot of them. from your loved one. Anda akan merasa tidak nyaman sekali, Anda akan tersiksa sekali dan sedikit menyesali mengapa memutuskan untuk vaksin jika efeknya jadi semenderita ini. Tiba-tiba Anda akan salut sekali pada para bayi yang bisa berkali-kali mengalami ini dengan sederetan jenis vaksinasinya. Tapi percayalah, yang Anda rasakan tidak akan seberapa dibanding jika, God forbid, Anda kena covid bergejala tanpa vaksin. In that moment, it’s important to be at peace and at ease, to find your source of comfort. Saya biasanya kalau menghadapi kesukaran dalam keseharian akan bilang, “This is temporary, tonight I will be on my bed.” Tapi mantra itu tidak berguna jika you’re already tied on your bed being sick. So, kiss and hug, and hand holding from the hubby have been my ultimate solace.

Nah, demikian pengalaman saya vaksinasi dengan menggunakan Astra Zeneca. Ada resiko demam dan suhu tingginya, tapi kenaikan yang se-ekstrim saya pun bisa terlalui. InsyaAllah manfaatnya lebih besar daripada resikonya. Yuk, kalau ada kesempatan vaksin, ambil saja sebagai ikhtiar melindungi diri dan orang-orang tercinta sekitar kita dari wabah ini.

Semoga tetap sehat dan semangat ya…

Love

Uswah.

On Empathy

I have this simple principle in life: not to post anything gifted to me by a friend and, likewise, I’d ask them not to post anything that I give them. Of course, if it is a product they are selling and me posting that could benefit all parties: the seller and prospective buyers, I’d gladly post it on social media.

The reason is simple: I don’t know who else is/is not receiving the same gift. If there is anyone within the circle of the giver not receiving any, wouldn’t s/he feel excluded? How many people have I hurt unknowingly thus?

“But, posting it is a show of gratitude to the sender.”

I’m sure there are many other ways to show that.

“You’re reading too much into it. Why is everything forbidden with you?”

By all mean, if it is right up your alley, no one is forbidding anything.

You see, empathy is a word that we throw around quite easily. But to really have it, sometimes you have to experience the adversity yourself. That is what makes empathy a cheap word to say but expensive lesson to take.

Bunga hidup untuk penghias ruangan

Waktu jalan kaki di sekitar vila kemarin, kami bertemu petani mawar yang sedang memotong bunga. Kami beli sedikit dan kami bawa pulang ke Malang. Ini penampakan ruang tamu dan ruang kerja saya. Jadi lebih hidup, ya. 🙂

Mempertahankan benih etiolasi

Saya baru belajar berkebun dan menyemai benih. Iseng kapan hari saya posting foto semaian kale saya di facebook, dan seorang teman yang pegiat tanaman memberitahu kalau benih saya etiolasi, simptomnya kutilang. Banyak sumber di internet menulis benih yang seperti ini sebaiknya dimakan sebagai salad (microgreen) saja.

Merasa sayang, saya tidak menurutinya. Yang saya lakukan adalah saya taruh ia di daerah yg terkena panas matahari konstan sepanjang hari sambil disirami kalau kering. Saking terobsesinya saya, ketika akan bepergian beberapa hari, pot semaian saya bawa serta juga. Hahaha. Takut kalau ditinggal ia akan kering atau tidak terkena sinar.

Semaian kale di kresek kuning, semaian cabe (normal) di pot hitam

Setelah beberapa hari, begini penampakannya. Sudah tambah beberapa daun walaupun batang masih lemah.

Saya akan mencoba konsisten merawatnya dan melihat apakah benar benih kutilang ini bisa survive dengan perawatan yang konstan. Kalau gagal ya tidak apa-apa juga, tapi saya menikmati sekali prosesnya.

Don’t shit where you eat

This principle is something that I adhere to. Recently, there have been two examples where I’ve been given this lesson, through the experience of others.

The first example is work-related and the second one is study-related. Either one, you do not bad mouth, you do not trash-talk the institution that feeds your stomach and your mind.

Here is a list of the Why-nots:

  • even dogs wouldn’t bite the hand that feeds them
  • it won’t necessarily show how bad the institution is, but surely it will reflect bad on your character
  • if you are leaving the place as you do it, think very carefully whether you really want to burn all the bridges. Especially if you are staying in the industry, chances are people in each field are inter(well)connected. It will come back to you full circle eventually.
  • it’s not the least, but surely it is the basic of all: it is just not right.

“But I have been so unfairly mistreated there.”

You deal with household problems in-house. You talk it out, voice out your constructive criticism through the available channels. Only if it fails do you have a liiiiittle excuse to bring it out in the open, if you think that the benefit outweighs the risk.

If nothing works, just get out. But shitting where you eat is not the way to go.

What I learn from solo bicycling

I like bicycling alone.

Along the way, I would meet people, either solo or in group bicycling. Some are faster, some are slower, some speed up, some stop to take a break. Mentally, you take note of all of them and most times you subconsciously want to compare yourself to them.

“How can they bike uphill without breaking a sweat?”
“If that person can do it in smaller wheels, there’s no reason I cannot do it in these wheels as well.”
“I should not stop, that person is older and he could keep the pace up.”
“I won’t let her race me”

But then as you pedal on, you realize that you cannot do that. Some people are faster than you perhaps because they are younger, used to do it, do it more regularly than you do. Some people take a break and you cannot look down on them, you don’t know their starting point. Perhaps they go earlier than you and ride miles farther than you.

The point being is, you don’t know their story. So, even in silence, you should not compare yourself to others. The only comparison you need to make is your own miles, from yesterday’s ride to today’s ride.

And smile.

You are sharing the road and all you riders are fellow travelers with your own story to bear.

Beberapa kesalahan dasar pengiriman surat lamaran kerja secara online

Selama 4 bulan ini, Algostudio membuka lowongan pekerjaan untuk beberapa posisi. Ada 100++ lamaran yang masuk dan 88 pelamar kami panggil untuk test serta wawancara dalam 10 gelombang, kurang dari 8 orang yang lolos dan kini bergabung bersama tim.

Dari 100++ lamaran yang masuk itu, ada beberapa pola kesalahan dasar umum yang dibuat oleh para pelamar. Beberapa di antaranya sebagai berikut:

1. Penggunaan alamat e-mail

Penggunaan alamat email yang baik dan benar terlihat seperti hal yang sepela tapi bisa memberi kesan pertama yang sangat menentukan. Model-model alamat email alay seperti pelamar-jagoan-gaming@gmail.com c4antiqacuteeegemesh@yahoo.com (<–email-email ini fiktif) ternyata masih ada. Memang itu hak pemilik email, tapi sebaiknya dihindari karena tidak mencerminkan kematangan dan profesionalitas pelamar.

Selain itu, untuk melamar pekerjaan, sebaiknya gunakan penyedia email yang standar dan populer (Gmail, Hotmail, Outlook, atau Yahoo). Sebisa mungkin jangan menggunakan email sekolah, kampus, apalagi email tempat kerja lama. Selain tidak etis, termonitor oleh institusi, juga kemungkinan balasan lamaran bouncing back juga lebih besar.

2. Subject

Gunakan subject yang baik dan benar, singkat dan lugas. Misal: Lamaran .Net programmer. Alasannya adalah hal ini akan memudahkan penerima lamaran untuk memilah dan mengelompokkan email yang masuk. Ketika ada seleksi berkas, lamaran tidak terselip.

Berlaku untuk situasi apapun, JANGAN pernah mengirim email tanpa menyertakan subject.

3. Cover letter

Cover letter ini adalah surat singkat yang menjelaskan siapa pengirim, tujuan mengirim surat itu apa, dan apa saja yang terlampir bersama email. Jangan pernah ujug-ujug ngirim email tanpa subject, tanpa isi/cover letter, dan tiba-tiba menyematkan attachment gitu saja.

4. Bedakan format email dan surat pos

Mulai dari jaman kita (saya) sekolah, memang kita diajari penulisan surat lamaran pekerjaan yang mediumnya kertas dan dikirim melalui pos, ya. Yang menjadi masalah adalah seringkali pelamar menggunakan format yang sama untuk email, terutama dalam 4 hal yaitu tanggal, perihal, sapaan, dan tanda tangan/signature. Berikut adalah salah satu dari sekian banyak email serupa yang saya terima:

Untuk email, tidak perlu menuliskan tempat dan tanggal surat ditulis/dikirim. Kenapa? Karena secara otomatis sistem akan mengindeks waktu pengiriman. Perihal adalah subject, isi singkat keperuntukan surat, jadi tidak perlu ditulis ulang. Untuk sapaan, yang ini tidak masalah tapi mungkin akan lebih luwes jika tidak menggunakan format tersebut dengan ditambahi ‘di tempat’. Sila lihat contoh di bawah untuk format yang lebih cocok untuk email.

Contoh ini jauuuh lebih baik.

Perbedaan format email dan surat pos yang terakhir adalah pembubuhan tanda tangan atau signature. Di surat pos, antara salam akhir dan nama penulis diberi jeda untuk pembubuhan tanda tangan basah. Untuk email, hal ini tidak perlu. Cukup ‘Best regards’, ‘Salam hormat’, diikuti nama terang, serta alamat korespondensi (no.tlp/website).

format tanda tangan basah

Signature ini penting dan sebisa mungkin disematkan tiap korespondensi melalui email. Bisa disetting secara otomatis untuk tiap email keluar.

5. Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris?

Gunakan bahasa sesuai dengan yang diminta di lowongan pekerjaan. Jika tidak disebutkan bahasa sebagai persyaratan, gunakan bahasa yang Teman-teman nyaman. Bahasa Inggris yang baik dan benar akan memberi nilai tambah yang luar biasa. Namun jika grammar dan registernya berantakan, malah akan mengurangi poin pelamar.

Yang lebih penting dari pilihan bahasa adalah kaidah penulisan yang baik dan benar. Perhatikan susunan kalimat, tanda baca, dan pilihan kata. Bedakan mana di yang dipisah dan yang digabung.

Sebagai penutup, masing-masing perusahaan dan HRD-nya memiliki kebijakan yang berbeda-beda. Ada yang memberikan toleransi lebih, namun ada pula yang sangat ketat bahkan dari tahap ini. Di Algostudio bagaimana? Untuk posisi teknis kami masih memberi toleransi, namun untuk posisi PR atau CS, kami memperketat kriteria mulai dari tahap seleksi ini.

A new hobby: biking

You read that right, biking. Not baking (I gave up on that endeavor a long time ago.)

My husband has been biking casually, I had never taken a liking to this activity until recently. So, when he decided to upgrade his bike from Helios F3 to Strattos S5, I thought to myself: I think it might be fun to try.

So, this was my first bike: Polygon Nevada, a low end city bike in fancy color. The reason why I chose it was: it is comparably cheaper than other types. So I thought if after trying it I’d feel like I no longer like biking, I would not have much regret buying it.

I thought wrong.

Polygon Nevada

I love biking! So I decided to upgrade my ride.

However, it was not that easy. Many people are taking to bicycling now it’s crazy, almost all bicycle stores in Malang run out of units already. So I tried to purchase a second-hand bike online, and I found this:

Polygon Path 2

It was still in mint condition, the mileage was low. However, this hybrid bike, though in size S, was too tall for the 155cm me. So I sold it back again and thought that if I really like biking, I should take a leap of faith and buy a serious road-bike altogether. So off I went online to rodalink official website and bought this:

Polygon Divine R5

The first thing I noticed about this bike was: for an entry level it is pricey (at least for me), hahaha. The second one is, the drop bar is kind of intimidating. But it comes in size 43 which helps a lot since I would still have control of the unit (something I dread without), and the geometry is sexy. It is built for women! and the color scheme is not bad.

It takes some moments of getting used to, but after some practice and series of Youtube videos on road-biking, and the relentlessness of husband’s assistance, I am now hooked on this.

Love,
Uswah